Analogi
Terakhir gua nulis itu kelas 12 SMA dan sekarang gua udah kuliah, akhir-akhir ini gua sering banget ngerasa di kepala gua ada dua suara: satu suara ngajak mikir rasional, satu lagi ngajak berpikir tentang sesuatu yang gak bisa dijelasin pake logika, tapi diyakini melalui kepercayaan. Gua sempet baca tentang MADILOG — Materialisme, Dialektika, dan Logika. Kata Tan Malaka, manusia harus mikir logis, jangan cuma ikut-ikutan tradisi yang ga jelas asal-usulnya. Gua kagum sih. Pemikiran itu ngebuka mata gua buat mikir lebih dalam. Tapi... gua juga sadar, kayaknya banyak orang Indonesia belum siap nerima itu. Karena, ya… kita masih lebih nyaman dengan yang turun-temurun, yang katanya “sudah dari dulu begitu”.
Gua juga sempet belajar tentang logika mekanistik dan reduksionis. Logika yang ngeliat manusia kayak mesin: kalau lu lapar, makan; kalau sakit, minum obat; kalau sedih, cari hiburan. Semua dijelaskan lewat sebab-akibat yang rapi. Tapi gua ngerasa… manusia tuh nggak sesederhana itu. Kadang lu sedih bukan karena kejadian itu sendiri, tapi karena makna di balik kejadian itu. Dan makna itu gak bisa dijelasin cuma pakai rumus.
Nah, di situ gua mulai mikir:
Apa semua yang gak bisa dijelasin itu berarti salah?
Dan apa semua yang gak bisa dilihat itu berarti gak nyata?
Gua dapet satu analogi waktu gua debat sama salah satu teman gua di kelas. Gua pake argumen dari jurnal, statistik, data valid dari Google Scholar — semua orang manggut-manggut karena, ya.. masuk akal. Tapi gua sadar, cara gua meyakini kebenaran data itu… sebenernya sama kayak cara orang beragama meyakini dalil. Bedanya cuma sumbernya.
Kalau gua percaya pada riset ilmiah, orang yang beragama percaya pada wahyu Tuhan.
Keduanya adalah bentuk keyakinan. Keduanya menggunakan logika, hanya saja berasal dari ranah yang berbeda.
Itu yang akhirnya gua sebut sebagai logika spiritual.
Logika yang mungkin gak bisa dibuktiin secara ilmiah, tapi bisa dirasain lewat hati.
Gua ngelihat gimana seorang ulama bisa bilang sesuatu haram, bukan karena dia anti sains, tapi karena dia pegang aturan yang diyakini turun dari Tuhan. Umat percaya, karena mereka yakin ada hikmah besar yang gak selalu langsung kelihatan.
Dan akhirnya gua sampai ke satu pertanyaan:
"Kalau agama itu batasan, apakah orang tanpa agama itu berarti gak punya batasan?"
Gua mikir lama. Terus gua sadar, bukan masalah siapa yang punya batasan, tapi siapa yang sadar bahwa dirinya butuh batas. Karena kalo gak dibatesin, manusia bisa jadi liar. Dikit-dikit pembenaran. Semua dianggap bebas. Tapi bebas tanpa arah itu bukan kebebasan, itu kekacauan.
Buat gua, agama itu bukan tembok.
Tapi pagar. Yang ngejaga lu dari jatuh ke jurang.
Lu masih bisa bebas jalan, tapi lu tau kapan harus berhenti.
Dan logika spiritual itu hadir buat ngingetin lu bahwa gak semua hal bisa dinalar, tapi semua hal bisa disikapi dengan hati.
Jadi sekarang gua ngerti.
Logika rasional itu penting. Gua butuh itu buat nyusun argumen, ambil keputusan, cari kebenaran ilmiah.
Tapi logika spiritual juga penting. Buat ngingetin gua bahwa hidup ini lebih dari sekadar hitung-hitungan dan analisa.
Kadang lu perlu percaya, bahkan ketika lu gak ngerti sepenuhnya.
Hidup itu bukan tentang milih antara mikir atau iman. Tapi gimana lu bisa nempatin dua-duanya di tempat yang pas.
Kalau lu sampai di titik ini, gua cuma mau tanya satu hal:
Hari ini, lu lebih percaya hidup karena apa? Karena logika lu? Atau karena sesuatu yang lu yakini dalam hati??
Komentar
Posting Komentar